Sejak mengikuti In House Training (IHT) Perpajakan tanggal 28-29 Oktober 2009 di KBI Medan, aku nyimpulin kalo belajar pajak itu juga asik. Jika selama ini ga tau sama sekali tentang subjek pajak dan kewajibannya, objek pajak penghasilan, penghasilan tidak kena pajak, pajak pertambahan nilai, pph pasal 21,22,dan 23; maka jadi tau semuanya. Dan ternyata, ilmunya pajak itu terus berkembang. Untuk tahap awal, berikut sedikit catatan yang bisa disharing dengan teman2 lewat blog ini.
Subjek Pajak dan Kewajibannya
Pengertian
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Subjek Pajak dan Kewajibannya
Pengertian
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Subjek pajak terdiri dari Orang pribadi (OP), Warisan yang belum terbagi, Badan, Bentuk usaha tetap (BUT). Subjek pajak OP atau badan dapat berupa subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). Khusus untuk TKI, dapat menjadi SPDN jika dibuktikan dengan KTP sebagai bukti residen dan bisa juga menjadi SPLN jika memiliki bukti residen permanen di negara tempatnya bekerja. Terdapat pengecualian subjek pajak badan jika memenuhi kriteria bahwa pembentukan berdasarkan ketentuan UU, pembiayaan berasal dari APBN/APBD, penerimaan dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat/daerah dan pembukuan diperiksa oleh aparat pengawasan Negara. Sehubungan pengecualian tersebut, Bank Indonesia tidak memenuhi keseluruhan kriteria, sehingga dengan UU No.36 Th 2008, BI menjadi subjek pajak atas surplus yang diperolehnya.
Jika berbeda subjek pajak maka akan membedakan objek pajak yang dapat terutang PPh. Objek pajak SPDN adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dan terdapat beberapa perubahan dengan lahirnya UU No. 28 th.2007 diantaranya :
· Wanita kawin yang tidak pisah harta dapat mendaftarkan diri memperoleh NPWP
· NPWP dapat dihapuskan jika dimohon oleh WP, WP dilikuidasi, atau jika dianggap perlu oleh DJP
· Penghapusan NPWP dapat dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan paling lama 6 bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi dan 12 bulan untuk Wajib Pajak badan sejak permohonan
· Paling lama setelah 1 bulan setelah memperoleh omset 600 juta, maka wajib PKP
Mekanisme pembayaran pajak dapat berupa:
1. Membayar sendiri pajak terutang à pph psl 25, pph psl 29
2. Pemotongan atau pemungutan pihak lain à pph psl 4 ayat 2,psl 15, psl 21, 22, 23, 26
3. Pemungutan oleh pihak penjual à pajak pertambahan nilai
4. Pembayaran lainnya à PBB, BPHTB, bea materai
Surat Pemberitahuan
Surat pemberitahuan terdiri dari :
a. Surat pemberitahuan tahunan (SPT), batas penyampaian untuk OP setiap tanggal 31 Maret dan untuk badan setiap tanggal 30 April (4 bulan sejak akhir Tahun Pajak)
b. SPT Masa untuk pph psl 21 dan 26, psl 22, psl 23, psl 25 dan psl 4 ayat 2
Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT dapat secara manual dan elektronik. Syarat penyampaian SPT yaitu benar (perhitungan), lengkap, dan jelas. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT cukup dengan pemberitahuan. Apabila SPT dianggap tidak disampaikan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. Dan jika terlambat akan dikenakan denda sebesar (1) SPT Tahunan PPh OP Rp100.000; (2) SPT Tahunan PPh Badan Rp1.000.000; (3) SPT Masa PPN Rp500.000; (4) SPT Masa Lainnya Rp100.000.
Objek Pajak Penghasilan
1. Imbalan atas pekerjaan atau jasa berupa gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, pension atau imalan bentuk lainnya
2. Hadiah undian atau penghargaan
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta sbg pengganti saham atau kepada pemegang saham/anggota ; keuntungan karena likuidas, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yg telah dibebankan sebagai biaya
6. Bunga, termasuk premium, diskonto, imbalan jaminan pengembalian utang
7. Deviden dengan nama dan bentuk apa pun
8. Royalty atas penggunaan hak
9. Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta
10. Pembayaran berkala
11. Keuntungan karena pembebasan utang
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
13. Selisih lebih atas penilaian kembali aktiva tetap
14. Premi asuransi
15. Iuran yg diterima dari perkumpulan yang anggotanya terdiri dari WP yg menjalankan usaha bebas
16. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
17. Imbalan bunga
18. Surplus Bank Indonesia
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP Tahun 2009
-Rp. 15.840.000,00 : untuk diri sendiri (WP OP)
-Rp. 1.320.000,00 : tambahan WP kawin (suami/istri)
-Rp. 15.840.000,00 : tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
-Rp. 1.320.000,00 : tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah, dan keluarga semenda garis keturunan lurus serta anak angkat yg menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang untuk setiap keluarga)
Penerapan PTKP dapat diperhitungkan di awal tahun pajak atau bagian tahun pajak. Besarnya PTKP ditentukan kedaan pada awal tahun takwim (kondisi 1 Januari)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Karakteristik yang dimiliki PPN antara lain PPN merupakan pajak tidak langsung dimana taxpayer dan destinaris berada pada pihak yang berbeda, dikenakan atas dasar penyerahannya, kewajiban membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak, dan dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. PPN yang dipungut tidak langsung disetorkan ke Kas Negara, karena PPN yang disetor ke Kas Negara merupakan hasil perhitungan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan yang diperhitungkan untuk memperoleh jumlah PPN yang harus dibayar ke Kas Negara merupakan kredit pajak dan dibutuhkan alat bukti yang dinamakan Faktur Pajak
PPN hanya dikenakan atas konsumsi objek pajak (BKP/JKP) di dalam negeri yang pemungutannya menganut prinsip tempat tujuan (PPN dipungut di tempat barang/jasa dikonsumsi). Bersifat netral yaitu tidak mengurangi daya beli masyarakat dan dikenakan atas nilai tambah & PPN yang dibayar dapat diperhitungkan dengan PPN yang dipungut.
PPN adalah hak penjual. Jika dalam suatu penyerahan barang, penjual tidak memperhitungkan PPN, maka pembeli tidak wajib membayar PPN. Penjual hanya dapat memperhitungkan PPN jika memenuhi syarat yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP), objek pajak adalah BKP, dan penyerahan terjadi di dalam negeri.
Kewajiban yang timbul jika sudah melaporkan usahanya sebagai PKP adalah memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Tarif yang dipakai adalah tarif tunggal 10%. Sedangkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu harga jual untuk BKP, penggantian untuk JKP, Nilai impor/ekspor, dan nilai lain yang ditetapkan oleh Menkeu (KMK No. 251/KMK.03/2002 tgl 31 Mei 2002)
Perhitungan PPN
Harga/Pembayaran tidak termasuk PPN (exclude PPN) :
DPP = Harga/Pembayaran
PPN = 10% X DPP
Harga/Pembayaran termasuk PPN (include PPN) :
DPP = 100/110 X Harga/Pembayaran
PPN = 10/110 X Harga/Pembayaran / 10% X DPP
Sesuai pasal 9 UU tentang PPN, pada dasarnya Pajak Masukan (PM) dapat dikreditkan/diperhitungkan dengan Pajak Keluaran (PK) jika memenuhi syarat formal dan syarat materiil. Syarat formal yaitu tercantum dalam faktur pajak standar/dokumen yg diperlakukan sbg faktur pajak standard dan belum dilakukan pemeriksaan atau selambat-lambatnya 3 bulan sesudah berakhirnya masa pajak yg bersangkutan. Sedangkan syarat materil yang harus dipenuhi yatu pajak masukan berasal dari pembelian BKP/JKP yg berhubungan langsung dg kegiatan usaha serta belum dibebankan sebagai biaya.
PPH Pasal 21
PPH pasal 21 merupakan pajak yang harus dipotong oleh pemberi kerja terhadap orang pribadi (WP dalam negeri) atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dan dapat menjadi kredit pajak bagi yg dipotong dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
Penerima penghasilan dapat berstatus pegawai, bukan pegawai, penerima pesangon/manfaat pensiun/THT, atau peserta kegiatan sepserti lomba, rapat, konferensi, kepanitiaan, magang dll. Dilihat dari objek pajaknya, maka dapat dirinci sebagai berikut :
- Penghasilan teratur dan tidak teratur : pegawai tetap
- Upah harian, mingguan, satuan, borongan, bulanan : pegawai tidak tetap
- Uang pensiun atau penghasilan sejenis : penerima pensiun
- Uang pesangon, manfaat pensiun, THT dan pembayaran sejenis : PHK/pensiun dibayar sekaligus
- Honor, komisi, fee, imbalan sejenis : bukan pegawai
- Uang saku, representasi, rapat, honor, hadiah/penghargaan dll : peserta kegiatan
Selain itu, terdapat penghasilan bukan objek pajak pasal 21, yaitu :
a. Pemberian dalam bentuk natura (termasuk pajak ditanggung pemberi kerja)
b. Iuran pensiun dan THT/JHT ditanggung pemberi kerja
c. Pembayaran asuransi
d. Zakat yang diterima Op yg berhak menerima
e. beasiswa
Cara pelunasan pph pasal 21 bisa dilakukan dengan pembayaran sendiri, dipotong oleh pihak lain, atau dipungut oleh pihak lain. Tarif pasal 17 Orang Pribadi terdiri dari beberapa lapis tingkat penghasilan, yaitu :
- s/d Rp. 50 juta .................. 5%
- di atas Rp.50 juta s/d Rp.250 juta ................. 15%
- di atas Rp.250 juta s/d Rp.500juta ................. 25%
- di atas Rp.500 juta ................. 30%
Tarif tersebut diatas diatur dalam Pasal 17 UU PPh, sehingga lebih dikenal dengan istilah “tarif pasal 17” atau “tarif progresif” karena sifatnya yang pregresif
Beberapa poin penting yang harus kita perhatikan terkait dengan pph pasal 21 ini adalah :
1. Masing-masing suami istri bisa memiliki NPWP, hingga kewajiban melaporkan SPT Tahunan juga dilakukan masing-masing (NPWP melahirkan kewajiban melaporkan SPT)
2. NPWP orang yang meninggal tidak otomatis terhapus, sampai warisannya dibagikan, apalagi jika masih meninggalkan penghasilan dari usaha yang menjadi objek pajak
3. Asuransi dikenakan pph psl 21 di awal, hingga saat klaim asuransi kematian dan kecelakaan diterima, tidak dikenakan pph lagi
4. THT sebesar 2% (ditanggung pegawai) dapat mengurangi objek pajak pada SPT. Saat THT diterima, baru dikenakan pajak dan bersifat final.
5. Uang perjalanan dinas bukan merupakan objek pajak pph psl 21 dan dikategorikan paket lumpsum.
6. Sesuai PER - 57/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009, dasar pengenaan dan pemotongan pph psl 21 untuk semua yg termasuk bukan pegawai adalah 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
= Tarif pasal 17 x 50% x penghasilan bruto
7. Dalam kategori bukan pagawai ada yang bersifat kesinambungan dan tidak kesinambungan. Untuk bukan pegawai bersifat kesinambungan yang hanya menerima penghasilan dari pemberi kerja mendapat pengurangan PTKP.
= Tarif pasal 17 x 50% x penghasilan bruto - PTKP
8. Pph pasal 21 final yang berlaku pada pajabat negara, PNS, anggota Polri/TNI untuk honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun (tidak terkait gaji) dan bersumber dananya dari APBN/APBD, dikenakan tarif 15% x penghasilan bruto dan tidak ditanggung oleh negara.
9. Pph pasal 21 final untuk uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan THT terdiri dari beberapa lapis tarif, yaitu :
- Kurang dari atau sama dengan Ro.25 juta .......... tidak dipotong
- Di atas Rp.25 juta s/d Rp.50 juta .......... 5%
- Di atas Rp.50 juta s/d Rp.100 juta .......... 10%
- Di atas Rp.100 juta s/d Rp.200 juta .......... 15%
- Di atas Rp.200 juta .......... 25%
10. Tarif bagi yang tidak punya NPWP dikenakan pph psl 21 yang lebih tinggi 20% daripada tarif terhadap WP yang punya NPWP, atau 120% x pph psl 21 yg seharusnya dipotong utk yang punya NPWP. Tarif lebih tinggi 20% ini hanya berlaku untuk pph psl 21 yang tidak final.
PPH PASAL 22
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.210/PMK.03/2008 tanggal 11 Desember 2008 disebutkan bahwa Bank Indonesia termasuk pemungut pph pasal 22. Besarnya pungutan pph pasal 22 terhadap pembelian barang yaitu 1,5% dari harga pembelian serta terutang dan dipungut pada saat pembayaran. Selain itu besarnya pungutan pph pasal 22 yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% dari pada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP.
Pengecualian pph pasal 22 berlaku diantaranya pada :
- Impor barang dan atau penyerahan barang yg berdasar ketentuan tidak terutang pph
- Impor barang yg dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau PPN oleh bea cukai
- Impor sementara jika pada waktu impor tsb untuk diekspor kembali
- Pembayaran yang kurang dari Rp.1 juta dan tidak terpecah-pecah
- Pembayaran utk pembelian BBM, listrik, gas, PDAM dan benda pos
- Emas batangan yg akan diproses menghasilkan perhiasan untuk tujuan ekspor
- Pencairan dana JPS oleh KPPN
- Impor kembali barang yang sudah diekspor dalam kualitas yg sama
- Pembayaran utk pembelian gabah dan atau beras oleh BULOG
PPH PASAL 23
Pemotong pph pasal 23 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, dan orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP seperti pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris yg melakukan pekerjaan bebas.
Objek dan tarif pph pasal 23 yaitu :
a. sebesar 15% x jumlah bruto atas:
- dividen
- bunga termasuk premium, diskonto, & imbalan krn jaminan pengembalian hutan
- royalti
- hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yg telah dipotong PPh Pasal 21
b. sebesar 2% x jumlah bruto atas:
- sewa dan penghasilan sehubungan dgn penggunaan harta, kecuali sewa tanah &/ bangunan (dikenakan pph pasal 4 ayat 2 sebesar 10%)
- imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Ps.21.
Jika WP yg dipotong PPh Ps.23 tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yg seharusnya.